Partisipasi yang luar biasa sungguh patut diacungi jempol bagi mereka yang membuang jauh apatisnya dan menyambut pemilu mahasiswa (pemilwa) dengan suka cita. Satu agenda yang diadakan dengan tujuan pengkaderisasian dan penjaringan pemimpin-pemimpin baru ini didaulat sebagai pesta demokrasi mahasiswa terbesar. Layaknya pemilu pada umumnya, sekelumit masalah tak ayal membungkus pemilwa. Sudah jadi makanan publik, pemilwa jadi ajang adu popularitas untuk meraih jabatan dengan nilai prestise tinggi, mulai dari kursi HIMA sampai tahta tertinggi BEM. Dengan impian membawa nama jurusan agar lebih eksis kedepannya, sikut-menyikut bak pemilu tingkat Nasional terkadang juga terjadi.
Strategi boleh saja diadu,
tapi disini mahasiswa baru (maba) jadi korbannya. Jika kita kaji, hampir 90%
pemilih merupakan maba. Menggunakan hak suara “satu menit untuk satu tahun”
menjadi sensasi tersendiri bagi maba yang labelnya masih awam. Miris sekali
rasanya melihat maba yang dengan penuh keyakinan ingin ikut serta menyalurkan
suara, tapi realitanya mereka jadi sumber daya terbaik untuk dieksploitasi.
Mengapa saya bisa berkata demikian? Seperti yang telah kita tahu, maba belum
paham betul bagaimana seluk-beluk politik kampus. Pasalnya maba merupakan
pendatang baru dengan jiwa-jiwa labil nan polos yang baru saja melepas jabatan
siswanya. Hal ini membuat mereka jadi sasaran empuk pencucian otak dengan orasi
dan buaian kata-kata manis. Alhasil mereka memilih karena kenal tapi tak paham
siapa yang mereka pilih atau lebih parahnya lagi cuma sekedar ikut-ikutan. Dan
dapat dipastikan, lebih dari setengahnya kelak akan menyesal setelah tahu siapa
yang mereka pilih.
Lalu kemana angka 10%
pemilih yang lain? Ya, mereka adalah tim sukses dari masing-masing calon. Lalu
dimana mereka yang peduli pada kampus ini? Mereka-lah sebagian mahasiswa yang
lebih suka tidak memilih karena mereka tidak tahu dimana suara mereka bisa
disalurkan. Bobroknya politik kampus dan tidak idealnya calon dimata mereka
memicu adanya opsi “Golput”. Lalu sebagian dan sisa dari mereka bersikap apatis
karena merasa “Toh tidak ada untungnya aku memilih, waktuku cuma untuk
skripsi”. Sekali lagi, politik kampus makin memprihatinkan dengan adanya sikap
apatis dan ikut-ikutan.
Miringnya demokrasi
tingkat kampus saja sudah cukup untuk menjadi tolak ukur bagaimana demokrasi
tingkat nasional. Jangankan disuruh mengubah nasib bangsanya, mahasiswa yang
katanya agent of change itu ternyata
masih berpikir dua kali untuk mengubah nasib kampusnya sendiri. Dan ini
hanyalah segelintir masalah seputar peserta pemilwa. Bagaimana dengan
penyelenggaranya sendiri, kepanitiaan pemilihan umum alias KPU? Tentunya masih
banyak yang perlu dikoreksi dan dibenahi. Tapi yang terpenting, mari gunakan
hak pilih semaksimal mungkin, jangan sampai nasib setahun kampus kita rusak
karena sikap apatis dan adanya eksploitasi suara maba.
-isn-
Posting Komentar