#6 Kaburnya Politik Kampus



            Partisipasi yang luar biasa sungguh patut diacungi jempol bagi mereka yang membuang jauh apatisnya dan menyambut pemilu mahasiswa (pemilwa) dengan suka cita. Satu agenda yang diadakan dengan tujuan pengkaderisasian dan penjaringan pemimpin-pemimpin baru ini didaulat sebagai pesta demokrasi mahasiswa terbesar. Layaknya pemilu pada umumnya, sekelumit masalah tak ayal membungkus pemilwa.  Sudah jadi makanan publik, pemilwa jadi ajang adu popularitas untuk meraih jabatan dengan nilai prestise tinggi, mulai dari kursi HIMA sampai tahta tertinggi BEM. Dengan impian membawa nama jurusan agar lebih eksis kedepannya, sikut-menyikut bak pemilu tingkat Nasional terkadang juga terjadi. 

            Strategi boleh saja diadu, tapi disini mahasiswa baru (maba) jadi korbannya. Jika kita kaji, hampir 90% pemilih merupakan maba. Menggunakan hak suara “satu menit untuk satu tahun” menjadi sensasi tersendiri bagi maba yang labelnya masih awam. Miris sekali rasanya melihat maba yang dengan penuh keyakinan ingin ikut serta menyalurkan suara, tapi realitanya mereka jadi sumber daya terbaik untuk dieksploitasi. Mengapa saya bisa berkata demikian? Seperti yang telah kita tahu, maba belum paham betul bagaimana seluk-beluk politik kampus. Pasalnya maba merupakan pendatang baru dengan jiwa-jiwa labil nan polos yang baru saja melepas jabatan siswanya. Hal ini membuat mereka jadi sasaran empuk pencucian otak dengan orasi dan buaian kata-kata manis. Alhasil mereka memilih karena kenal tapi tak paham siapa yang mereka pilih atau lebih parahnya lagi cuma sekedar ikut-ikutan. Dan dapat dipastikan, lebih dari setengahnya kelak akan menyesal setelah tahu siapa yang mereka pilih. 

            Lalu kemana angka 10% pemilih yang lain? Ya, mereka adalah tim sukses dari masing-masing calon. Lalu dimana mereka yang peduli pada kampus ini? Mereka-lah sebagian mahasiswa yang lebih suka tidak memilih karena mereka tidak tahu dimana suara mereka bisa disalurkan. Bobroknya politik kampus dan tidak idealnya calon dimata mereka memicu adanya opsi “Golput”. Lalu sebagian dan sisa dari mereka bersikap apatis karena merasa “Toh tidak ada untungnya aku memilih, waktuku cuma untuk skripsi”. Sekali lagi, politik kampus makin memprihatinkan dengan adanya sikap apatis dan ikut-ikutan. 

            Miringnya demokrasi tingkat kampus saja sudah cukup untuk menjadi tolak ukur bagaimana demokrasi tingkat nasional. Jangankan disuruh mengubah nasib bangsanya, mahasiswa yang katanya agent of change itu ternyata masih berpikir dua kali untuk mengubah nasib kampusnya sendiri. Dan ini hanyalah segelintir masalah seputar peserta pemilwa. Bagaimana dengan penyelenggaranya sendiri, kepanitiaan pemilihan umum alias KPU? Tentunya masih banyak yang perlu dikoreksi dan dibenahi. Tapi yang terpenting, mari gunakan hak pilih semaksimal mungkin, jangan sampai nasib setahun kampus kita rusak karena sikap apatis dan adanya eksploitasi suara maba.


-isn-
0 komentar:

Posting Komentar

Playlist

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
Nurul Isni Sirbiyani
Palembang-Yogyakarta, Indonesia
Not so impportant. I'm ok wif myself, so don't bother urself with me n mine
Lihat profil lengkapku